Senin, 17 Desember 2012

APA YANG DIPERLUKAN UNTUK MENGHADAPI KEGAGALAN


Calon wirausahawan harus siap gagal. Fahamilah makna kegagalan. Tanpa faham filosofi itu,
jangan berpikir mau mengambil jalan menjadi wirausaha. Alasannya, ada yang sukses dalam
usahanya, ada yang belum berhasil. Pengusaha mengetahui bahwa ”kegagalan” bukan akhir
permainan dan tidak boleh takut mengalaminya. Ia menyadari dengan keberanian, bahwa bisa saja
mengatasi sesuatu yang tidak mungkin untuk berhasil.

Menghadapi risiko, adalah gabungan kerja keras, kecerdikan, kehati-hatian, kecermatan membaca
peluang dan kesiapan menghadapi kegagalan maupun keberhasilan. Happy ending sebuah ikhtiar
adalah keberhasilan. Ini dicapai, tentu setelah melewati keberhasilan demi keberhasilan kecil,
seperti keberhasilan menyingkirkan kesulitan dan bahaya. Proses ini dibangun dari kesungguhan
melahirkan segenap potensi diri seorang wirausahawan. Dengan begitu, ia mengubah “kekalahan
menjadi kemenangan”, sebuah proses yang kecil peluang pencapaiannya tanpa kesiapan mental
menghadapi kegagalan. Kalau Anda termasuk yang tidak siap gagal, lebih baik jangan meniti jalan
ini. Bahkan, mengimpikannya saja, jangan!

Setiap kegagalan adalah pelajaran yang mendorong pengusaha untuk mencoba pendekatan baru
yang belum pemah dicoba sebelumnya. Bagi pengusaha sejati, “Berani Gagal” berarti “Berani
Belajar”. Dengan gagal dan dengan belajar, pengusaha bertumbuh menjadi orang yang lebih baik
dan belajar bagaimana menciptakan kekayaan sejati. Walaupun pengusaha kehilangan kekayaan
materi yang telah mereka peroleh, mereka tahu bagaimana menciptakan semua kekayaan itu lagi.
Pelajarannya tidak pemah hilang. Sebaliknya, mereka yang tidak pemah mengalami perjalanan yang
sulit dan menemukan kekayaan dengan mudah, tidak akan tahu bagaimana menciptakan kekayaan
ketika mereka kehilangan. Dengan kata lain, mereka yang tidak gagal tak akan tahu kekayaan sejati.

Gemerlap materi, pada komunitas bahkan kehidupan sosial yang serba benda (materialistis), lebih
banyak memperoleh penilaian tinggi. Sebaliknya, siapa pun mengalami kegagalan, sudah mendapat
stempel sosial sebagai manusia yang kehilangan harga. The looser dunia usaha, sering menjadi figur
yang menghadapi titik balik sikap sosial terhadapnya. Dulu, saat masih jaya, ia banyak rekan dan
kolega, setelah gagal dalam usahanya, hampir semua rekan dan kolega yang dulu mendukungnya,
menebar senyum ramahnya, bahkan mengajak bermitra, hilang sudah! Akibat cara pandang seperti
ini, banyak wirausahawan yang traumatik terhadap kegagalan. Ini, “awal kematian” benih-benih
kewirausahaan. Semua pihak harus mengubah sikapnya: doronglah masyarakat menjadi pihak yang
turut membangun keberanian banyak orang untuk respek terhadap ikhtiar orang meraih
keberhasilan dalam bisnis. Gagal atau keberhasilan, bukan menjadi satu-satunya alasan menghargai
atau meremehkan wirausahawan. Tentu, sembari tetap mentransfer sikap-sikap arif, bahwa dalam
setiap kegagalan selalu ada pelajaran berharga. Seorang bijak berkata,”sukses hanyalah pijakan
terakhir dari tangga kegagalan.”





Kita perlu menggalakkan orang untuk berani mengambil resiko. Hal ini membutuhkan pola pikir
yang sangat berbeda. Untuk kita, itu berarti mengabaikan peraturan yang telah berlaku baik selama
30 tahun lebih.



Lee Kuan Yew, mantan PM Singapura



 
Atas